Malaysia telah mencatatkan sejarah baru dalam praktik zakat di dunia Islam dengan menjadi negara pertama yang memperbolehkan pembayaran zakat menggunakan cryptocurrency. Langkah ini menandai evolusi signifikan dalam pengelolaan zakat, yang kini merambah dunia digital.
Keputusan inovatif ini diumumkan oleh Datuk Abdul Hakim Amir Osman, Chief Executive Officer Pusat Pungutan Zakat Majlis Agama Islam Wilayah Persekutuan (PPZ-MAIWP). Menurutnya, tujuan utama dari inisiatif ini adalah memberikan edukasi kepada umat Muslim tentang kewajiban zakat di era teknologi blockchain.
Melansir dari New Straits Times, Malaysia memiliki nilai aset digital yang signifikan, yakni mencapai RM 16 miliar atau sekitar Rp 57,7 triliun. Dengan jumlah ini, potensi zakat dari aset digital menjadi peluang besar untuk meningkatkan kesejahteraan umat.
“Di kalangan generasi muda berusia 18 hingga 34 tahun, sebanyak 54,2% investor telah terjun ke dunia kripto. Oleh karena itu, kami melihat ini sebagai sumber zakat baru, sumber kekayaan baru,” ungkap Abdul Hakim dalam pernyataannya.
Langkah ini didasarkan pada keputusan sidang ke-134 Komite Konsultatif Hukum Islam Wilayah Federal. Sidang tersebut menetapkan bahwa cryptocurrency, sebagai komoditas yang dapat diperdagangkan, wajib dikenakan zakat bisnis dengan tarif sebesar 2,5%.
Digitalisasi zakat ini menjadi bukti bahwa Islam mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman. “Digitalisasi praktik keagamaan menunjukkan bahwa Islam terus berkembang dan beradaptasi dengan kebutuhan para pengikutnya,” tambah Abdul Hakim.
Keberhasilan langkah ini tercermin dalam peningkatan signifikan pengumpulan zakat dari aset digital. Pada tahun 2023, pengumpulan zakat aset digital meningkat 73%, mencapai RM 25.983,91 atau sekitar Rp 9,3 miliar. Tahun ini, jumlahnya bahkan telah mencapai RM 44.991,97 atau sekitar Rp 16,2 miliar.
Inovasi ini tidak hanya menguntungkan penerima zakat tetapi juga menjadi solusi bagi generasi muda yang memiliki aset berbasis digital. Dengan demikian, kripto bukan lagi sekadar investasi tetapi juga menjadi bagian dari kewajiban keagamaan.
Namun, di balik terobosan ini, terdapat tantangan dalam edukasi dan pemahaman masyarakat. Tidak semua umat Muslim memahami bahwa cryptocurrency dapat dikenakan zakat. Oleh karena itu, sosialisasi menjadi tugas utama pemerintah dan lembaga zakat.
Selain itu, regulasi dan transparansi juga menjadi aspek penting dalam pengelolaan zakat berbasis digital. Perlindungan terhadap penyalahgunaan aset kripto harus menjadi perhatian utama agar kepercayaan masyarakat tetap terjaga.
Malaysia telah membuka jalan bagi negara-negara Muslim lain untuk mengadopsi pendekatan serupa. Dengan mengintegrasikan teknologi modern ke dalam praktik tradisional, negara ini menunjukkan bahwa syariat Islam relevan di semua era.
Bagi Indonesia, pelajaran dari Malaysia ini dapat menjadi inspirasi untuk mengembangkan sistem zakat berbasis digital. Dengan populasi Muslim terbesar di dunia, potensi penerapan zakat kripto di Indonesia sangat besar.
Inovasi seperti ini bukan hanya soal teknologi, tetapi juga tentang bagaimana nilai-nilai Islam mampu menjawab tantangan dan kebutuhan zaman. Apakah Indonesia akan mengikuti jejak Malaysia? Hanya waktu yang akan menjawab.